ASUHAN
KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR
DENGAN
ASFIKSIA DI RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG TAHUN 2011
DISUSUN OLEH :
NAMA : YULIANA
NPM
: 10154010043
PROGRAM
STUDI KEBIDANAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
TAHUN
AJARAN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
merupakan salah satu unsur penentu status kesehatan. Pelayanan kesehatan
neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada ibu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal
merupakan periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan
kematian bayi (Safrina, 2011).
Menurut World Health Organization
(WHO) setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir
mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini meninggal. Di Indonesia, dari
seluruh kematian bayi , sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi baru
lahir di Indonesia adalah bayi berat
lahir rendah (29%), asfiksia
(27%), trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan
kelainan kongenital (Wiknjosastro, 2008).
Menurut data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 angka kematian bayi sebesar 34
kematian/1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal,
setiap lima menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Adapun penyebab
kematian bayi baru lahir di Indonesia, salah satunya asfiksia yaitu
sebesar 27% yang merupakan penyebab ke-2 kematian bayi baru lahir setelah Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) (Depkes RI, 2008).
Adapun penyebab langsung kematian bayi
baru lahir 29% disebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia
(13 %), tetanus (10 %), masalah pemberian makan (10 %), infeksi
(6,7 %), gangguan hematologik (5 %), dan lain-lain (27 %) (Yurnaldi,
2011).
Asfiksia neonatorum
adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas, sehingga dapat menurunkan O2
dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia
berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.
Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak
atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital
lainnya (Prawirohardjo, 2009).
Faktor yang menyebabkan kejadian Asfiksia
adalah faktor ibu yaitu usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
(DepKes RI, 2009). Kehamilan pada usia yang terlalu muda dan tua termasuk dalam
kriteria kehamilan risiko tinggi dimana keduanya berperan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pada ibu maupun janin (Widiprianita, 2010).
Umur muda (< 20 tahun) beresiko
karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara mental.
Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor resiko
yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia,
sedangkan umur tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk
menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi
perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat
berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum,
2010).
Faktor resiko terjadinya asfiksia
yaitu usia kehamilan / masa gentasi sangat berpengaruh pada bayi yang
akan dilahirkan, faktor bayi prematur sebelum 37 minggu kehamilan dan
faktor ibu yaitu kehamilan post term atau kehamilan melebihi 42 minggu
(DepKes RI, 2009).
Bayi prematur (<37 minggu)
lebih beresiko untuk meninggal karena asfiksia (Lee, 2006). Umumnya
gangguan telah dimulai sejak dikandungan, misalnya gawat janin atau stres
janin saat proses kelahirannya (Purnamaningrum, 2010).
Bayi prematur sebelum 37 minggu
kehamilan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir. Jadi terdapat hubungan yang erat antara persalinan preterm
yang menyebabkan fungsi organ-organ bayi
belum berbentuk secara sempurna, kegagalan bernafas pada bayi prematur
berkaitan dengan defisiensi kematangan surfaktan pada paru-paru bayi.
Bayi prematur mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun
fisiologi jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan salah satu karakteristik
bayi preterm ialah pernafasan tidak teratur dan dapat terjadi gagal
nafas (Purnamaningrum, 2010).
Adapun usia kehamilan >42 minggu (post
term) atau disebut dengan lewat bulan juga merupakan faktor resiko dimana
bayi yang dilahirkan dapat mengalami asfiksia yang bisa disebabkan oleh
fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi akibat proses penuaan
mengakibatkan transportasi oksigen dari ibu ke janin terganggu (Pantiawati,
2010).
Menurut Aminulloh (2002) dalam
penelitian Katriningsih (2009) ada hubunganfaktor yang berkaitan dengan terjadinya Asfiksia dapat dilihat dari
faktor ibu yang meliputi usia ibu waktu hamil, umur kehamilan saat melahirkan,
paritas, dan faktor janin meliputi bayi prematur.
Berdasarkan hasil Penelitian Revrely
yang dilakukan di Ruangan IRINA D RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado hubungan
umur ibu dengan asfiksia neonatorum menunjukkan angka yang paling besar
presentasinya adalah umur ibu yang berisiko (<20 tahun; >35 tahun) dengan
bayi yang asfiksia yaitu 13 bayi atau 52%. Dari hasil analisa hubungan
kedua variabel dengan menggunakan uji
statistik Chi Square menunjukkan ada hubungan umur ibu dengan kejadian asfiksia
neonatorum dengan signifikansi (p) = 0.015, pada α < 0,05. Odds
Ratio (OR) = 1,563. Berarti umur ibu yang berisiko (< 20 tahun; > 35
tahun) mempunyai peluang 1,563 kali bayinya mengalami asfiksia dari pada
umur ibu yang tidak berisiko (20-35 tahun) (Revrely, 2011).
Berdasarkan data Dinas kesehatan
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008 jumlah kelahiran yaitu 156.348 orang
dengan jumlah kematian bayi yaitu 3,4% (537 kematian bayi), sedangkan pada
tahun 2009 jumlah kelahiran 102.205 orang dengan jumlah kematian bayi yaitu
0,8% (79 kematian bayi). Persentase kematian tertinggi terjadi di Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI) (1,31%) dan Lahat (0,82%), persentase terendah di
Kabupaten Muara Enim (0,14%) dan Empat Lawang (0,13%) (Dinkes Provinsi Sumatra
Selatan, 2010).
Menurut data dinas kesehatan kota
Palembang pada tahun 2008 jumlah kelahiran sebesar 30.104 orang dengan angka
kematian 4 per 1000 Kelahiran Hidup, Sedangkan pada tahun 2009 jumlah kelahiran
sebesar 30.117 orang dengan jumlah angaka kematian bayi yaitu sekitar 2 per
1000 Kelahiran Hidup (Dinkes Kota Palembang, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari
Rekam Medik Kebidanan RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, pada tahun 2009
jumlah kelahiran 2437 bayi dengan jumlah kejadian asfiksia pada bayi
sebanyak 105 bayi (4,3%), pada tahun 2010 jumlah kelahiran 2183 bayi dengan
jumlah kejadian asfiksia pada bayi sebanyak 143 orang (6,2%), Pada tahun
2011 jumlah kelahiran 2410 bayi dengan jumlah kejadian asfiksia pada
bayi sebanyak 167 bayi (6,9%).Dari data 3 tahun terakhir presentase kejadian
asfiksia tingkat kejadiannya meningkat dari tahun sebelumnya (Medical Record
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, 2011).
Berdasarkan
data diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Antara Usia
Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011”.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian masalah diatas maka penulis membuat
rumusan masalah “Apakah ada Hubungan antara Usia Ibu dan
Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.”
1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah
ada hubungan antara usia ibu dan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia pada
bayi baru lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011?
1.4 Tujuan
Penelitian
1.4.1 Tujuan
Umum
Untuk mengetahui
Hubungan antara Usia Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia
pada Bayi Baru lahir Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
1.4.2 Tujuan
Khusus
1. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi kejadian Asfiksia di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011.
2. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi Usia Ibu di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
3. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi Umur Kehamilan di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
4. Untuk
mengetahui hubungan antara Usia Ibu dengan kejadian Asfiksia pada bayi
baru lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
5. Untuk
mengetahui hubungan antara Umur Kehamilan dengan kejadian Asfiksia pada
bayi baru lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
1.5 Manfaat
Penelitian
1.5.1
Bagi Petugas Kesehatan di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Hasil penelitian ini dapat dijadikan
informasi dan sebagai masukan bagi petugas kesehatan khususnya di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
pada ibu bersalin dan dapat menghindari terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir dengan harapan dapat mengurangi angka kematian bayi baru lahir.
1.4.2
Bagi Mahasiswa Kebidanan Bina
Husada Palembang
Dapat dijadikan sebagai
sumber bacaan atau referensi serta menjadi bahan atau data dasar bagi
penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai bayi baru lahir dengan asfiksia
di Akademi Kebidanan Tunas Harapan Bangsa Palembang.
1.4.3
Bagi Peneliti
Sebagai penerapan dalam mata kuliah
metode penelitian dan dapat menambah pengetahuan serta pengalaman peneliti
secara langsung di dalam mengaplikasikan ilmu metode penelitian.
1.6
Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam Bidang
Asuhan Kebidanan pada Neonatus Bayi dan Balita dengan sasaran Bayi Baru Lahir
dengan Kejadian Asfiksia yang dirawat dan tercatat di Ruang Kebidanan RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2011. Data yang diambil adalah data Sekunder
yaitu bayi baru lahir selama 3 tahun terakhir (tahun 2009- tahun 2011). Yang
mana peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara Usia Ibu dan Umur
Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2011yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Asfiksia Bayi
Baru Lahir
2.1.1 Pengertian
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum
lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini
erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau
masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan
(Wiknjosastro, 2008).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi
dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir (Betz dan Sowden, 2002). Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia,
hiperkapnea, sampai asidosis (Hidayat, 2008).
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami
gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini
mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama
atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang
tidak dapat bernafas, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan
pada bayi baru lahir yang mengalami gagal
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi
tidak dapat memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang
dari tubuhnya (Dewi, 2011).
2.1.2 Penyebab
Terjadinya Asfiksia Bayi Baru Lahir
2.1.2.1 Penyebab terjadinya
Asfiksia menurut (DepKes RI, 2009)
1. Faktor Ibu
a.
Preeklamsia dan eklamsia.
b. Perdarahan abnormal (plasenta
prervia atau solutio
plasenta).
c.
Partus lama atau partus
macet.
d.
Demam selama persalinan.
e.
Infeksi berat (malaria,
sifilis, TBC, HIV).
f.
Kehamilan post matur.
g.
Usia ibu kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun.
h.
Gravida empat atau lebih.
2. Faktor Bayi
a.
Bayi Prematur (Sebelum
37 minggu kehamilan).
b.
Persalinan sulit (letak
sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ektraksi vakum, porsef).
c.
Kelainan kongenital.
d.
Air ketuban bercampur
mekonium (warna kehijauan).
3. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat.
b. Tali pusat pendek.
c. Simpul tali pusat.
d. Prolapsus tali pusat.
2.1.2.2 Penyebab terjadinya Asfiksia menurut (Proverawati, 2010)
1. Faktor Ibu
Oksigenisasi
darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anastesi,
penyakit jantung, sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon
monoksida, dan tekanan darah ibu yang rendah akan menyebabkan asfiksia
pada janin. Gangguan aliran darah uterus dapat menyebabkan berkurangnya
pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada:
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat: hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran
gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia
janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya:
plasenta tipis, plasenta kecil, plasenta tak menempel, dan perdarahan plasenta.
3.
Faktor Fetus
Kompresi
umbilikus
dapat mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus
dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan: tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat
antara janin dan jalan lahir, dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi
baru lahir dapat terjadi oleh karena pemakaian obat anastesia/analgetika
yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernapasan janin, maupun karena trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intra kranial. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia
diafrakmatika atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia
paru dan lain-lain.
5. Faktor Persalinan
Partus
lama dan partus karena tindakan dapat berpengaruh terhadap gangguan paru-paru.
2.1.3 Dampak
Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
2.1.3.1 Dampak Asfiksia menurut
Kosim (2010)
1. Otak : Ensepalo hipoksis
iskemik (EHI).
2. Ginjal : Gagal ginjal akut.
3. Jantung : Gagal jantung.
4.
Saluran cerna : EKN= Entero
kolitis Nekrotikans/ NEC= Nekrotizing entero.
2.1.3.2 Dampak Asfiksia menurut Sarwono Prawirohardjo (2009)
Asfiksia berarti hipoksia
yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.
Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak
atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital
lainnya.
2.1.3.3 Dampak Asfiksia menurut Safrina (2011)
Asfiksia adalah keadaan bayi baru
lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur. Asfiksia atau
gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh menjadi terhambat, jika
terlalu lama membuat bayi menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan
mengalami cacat otak. Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama
dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan
tumbuh kembang. Asfiksia juga dapat menimbulkan cacat seumur hidup seperti
buta, tuli, cacat otak dan kematian.
2.1.4 Macam-macam
Rangsangan terjadinya Respirasi menurut Novita (2011)
2.1.4.1 Chemical Stimuli
Pada
bayi baru lahir mengalami asfiksia sementara, akibatnya dari gangguan
aliran darah pada plasenta selama kontraksi uterus dan disertai dengan tekanan
tali pusat saat kelahiran. Kemoreseptor yang ada disertai carotic
dirangsang dengan adanya penurunan kadar O2 dan penurunan pH,
sehingga impuls tersebut men-trigerd
sistem pusat pernapasan di medula oblongata.
2.1.4.2 Sensory Stimuli
Pada
bayi lahir banyak sekali stimulus baru selama proses persalinan dan
kelahiran, antara lain sentuhan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman,
dimana memberi kontribusi terhadap pencetus dari pernafasan.
2.1.4.3 Thermal Stimuli
Rasa
dingin merupakan kekuatan utama terhadap pencetus pernafasan. Rasa dingin pada
muka dan dada mengantarkan impuls ke medula untuk men-trigger
pernafasan.
2.1.4.4 Mechanical Stimuli
Selama
melalui jalan lahir, kurang lebih 30% cairan pada paru-paru fetus terisi oleh
udara dan alveoli berlahan-lahan mengeluarkan sampai 30 cc ke oropharing
sebelum kelahiran. Terjadi recoil dada setelah melalui jalan lahir,
pengeluaran cairan tersebut mempermudah udara masuk ke dalam paru-paru.
2.1.5 Tanda dan Gejala Asfiksia
Bayi Baru lahir Menurut Dewi (2011)
2.1.5.1 Asfiksia
Berat (nilai APGAR 0-3)
Pada
kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis, sehingga
memerlukan perbaikan dan resusitasi
aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang muncul pada asfiksia berat
adalah sebagai berikut:
a. Frekuensi jantung kecil,
yaitu < 40 kali per menit.
b. Tidak ada usaha panas.
c. Tonus otot lemah bahkan
hampir tidak ada.
d. Bayi tidak dapat memberikan
reaksi jika diberikan rangsangan.
e. Bayi tampak pucat bahkan
sampai berwarna kelabu.
f. Terjadi kekurangan oksigen
yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan.
2.1.5.2 Asfiksia Sedang (nilai
APGAR 4-6)
Pada
asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut:
a.
Frekuensi jantung menurun
menjadi 60 – 80 kali per menit.
b.
Usaha panas lambat.
c.
Tonus otot biasanya dalam
keadaan baik.
d.
Bayi masih bisa bereaksi
terhadap rangsangan yang diberikan.
e.
Bayi tampak sianosis.
f.
Tidak terjadi kekurangan
oksigen yang bermakna selama proses persalinan.
2.1.5.3 Asfiksia Ringan (nilai
APGAR 7-10)
Pada
asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul adalah sebagai
berikut:
a. Takipnea dengan napas lebih
dari 60 kali per menit.
b. Bayi tampak sianosis.
c. Adanya retraksi sela iga.
d. Bayi merintih (grunting).
e. Adanya pernapasan kuping hidung.
f. Bayi kurang aktivitas.
Untuk menentukan tingkatan asfiksia,
apakah bayi mengalami asfiksia berat, sedang atau ringan/ normal dapat
dipakai penelitian apgar skor (Benson, 2010).
APGAR score
A : Apprearance = Rupa (warna kulit)
P : Pulse = Nadi
G : Grimace = Menyeringai (akibat repleks
kateter dalam hidung)
A : Activity = Keaktifan
R : Respiration = Pernafasan
Dibawah
ini tabel untuk menentukan tingkat/derajat asfiksia yang dialami bayi
pada saat dia dilahirkan penilaian dilakukan pada menit pertama dan menit
kelima pada saat bayi lahir.
Nilai APGAR
Tanda
|
0
|
1
|
2
|
Frekuensi jantung
|
Tidak ada
|
Kurang dari 100/ menit
|
Lebih dari 100/ menit
|
Usaha napas
|
Tidak ada
|
Lemah/tidak teratur (slow irregular)
|
Baik/Menangis kuat
|
Tonus otot
|
Lumpuh
|
Ekstremitas dalam fleksi sedikit
|
Gerakan aktif
|
Reaksi terhadap rangsangan
|
Tidak ada
|
Sedikit gerakan mimik (grimace)
|
Gerakan kuat/ melawan
|
Warna kulit
|
Pucat
|
Badan merah, ektrimitas biru
|
Seluruh tubuh kemerah-merahan
|
Sumber: Benson (2010) Buku
Saku Ilmu Kebidanan.
Keterangan
nilai APGAR:
1.
7 - 10: Bayi mengalami asfiksia
ringan atau dikatakan bayi dalam
keadaan normal.
2.
4 – 6: Bayi mengalami asfiksia
sedang.
3.
0 – 3: Bayi mengalami asfiksia
berat.
2.1.6 Klasifikasi
Klinis Asfiksia
1. Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna
kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan positif, bunyi
jantung reguler, prognosi lebih baik.
2. Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna
kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi
jantung irreguler, prognosis jelek (Sholihah, 2010).
2.1.7 Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia
janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga Hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu:
1.
Denyut jantung janin:
prekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan permenit. Apabila frekuensi
denyutan turun sampai di bawah 100
permenit di luar his dan lebih-lebih jika tidak teratur itu merupakan tanda
bahaya.
2.
Mekonium dalam air ketuban:
adanya mekonium pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi
dan gawat janin, karena terjadi rangsangan nervus X, sehingga paristaltik
usus meningkat dan sfingter ani membuka. Adanya mekonium dalam air ketuban
pada presentasi kepala merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal
itu dapat dilakukan dengan mudah.
3.
Pemeriksaan pH darah janin:
adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di
bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya (Rukiyah, 2010).
2.1.8 Penatalaksanaan
2.1.8.1 Prinsip
Resusitasi Menurut Manuaba (2010)
a. Kepala bayi diletakkan pada
posisi yang lebih rendah.
b. Bersihkan jalan napas dari
lendir, mulut dan tenggorok, saluran napas bagian atas.
c. Mengurangi kehilangan panas
badan bayi dengan kain hangat.
d. Memberikan rangsangan
menangis: menepuk telapak kaki, atau menekan tendon pada tumit bayi.
e. Dalam ruang gawat darurat
bayi selalu tersedia penghisap lendir bayi dan O2 dengan maskernya.
2.1.8.2 Prinsip
Resusitasi Menurut Hidayat (2008)
Merupakan tindakan dengan mempertahankan jalan napas agar tetap baik,
sehingga proses oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap baik. Cara
mengatasi asfiksia adalah sebagai berikut.
a.
Asfiksia Ringan APGAR skor
(7 – 10)
Cara mengatasinya:
1.
Bayi dibungkus dengan kain
hangat
2. Bersihkan jalan napas
dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut.
3.
Bersihkan badan dan tali
pusat
4. Lakukan observasi tanda
vital, pantau APGAR skor, dan masukan kedalam inkubator
b. Asfiksia Sedang APGAR skor (4 – 6)
Cara mengatasinya:
1.
Bersikan jalan napas.
2.
Berikan oksigen 2 liter per
menit
3.
Rangsang pernapasan dengan
menepuk telapak kaki. Apabila belum ada
reaksi, bantu pernapasan dengan masker (ambubag)
4. Bila bayi sudah mulai
bernapas tetapi masih sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc.
Dektrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilikus secara
berlahan-lahan untuk mencegah tekanan
intrakranial meningkat.
c.
Asfiksia Berat APGAR skor
(0 – 3)
Cara mengatasinya:
1.
Bersikan jalan napas sambil
pompa melalui ambubag.
2.
Berikan oksigen 4-5 liter
per menit.
3.
Bila tidak berhasil,
lakukan pemasangan ETT (endotracheal tube).
4.
Bersikan jalan napas dengan
ETT.
5. Apabila bayi sudah mulai
bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak
6 cc. Selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4 cc.
2.1.8.3 Prinsip Resusitasi Menurut Benson (2010)
a. Apgar 7 atau lebih
Neonatus tidak perlu bantuan
apapun
b. Apgar 4 – 6
1.
Lanjutkan stimulasi
dengan menggosok kaki, dada atau vertebra.
2.
Pastikan bahwa neonatus
kering dan hangat.
3.
Memberi bantuan pernapasan
dengan ventilasi menggunakan oksigen 100% dengan masker wajah dan hati-hati
berikan pernapasan dengan kecepatan 40-50/menit.
4.
Lanjutkan observasi
komponen Apgar yang lain, terutama frekuensi jantung, warna, gerakan dan usaha
pernapasan.
c. Apgar 0 - 3
Neonatus memerluakan bantuan lebih banyak tindakan resusitasi bayi baru
lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi:
1. Airway (Memastikan saluran
pernafasan terbuka)
a. Mengatur posisi neonatus dengan tepat (Kepala harus berlahan-lahan
diletakkan dalam posisi hiperekstensi bahu diganjal untuk menghilangkan
obstruksi jaringan lunak trakea yang potensial).
b. Membersihkan saluran pernapasan bayi.
c. Menghisap hidung dan mulut dengan hati-hati selama 10 – 15 menit.
2. Breathing (Memulai pernafasan)
a. Memakai rangsangan taktil
untuk memulai pernafasan.
b. Memberikan oksigen dengan
kantung dan masker dengan kecepatan 40 – 50 pernapasan /menit.
3. Circulation
a. Rangsangan dan pertahanan sirkulasi darah dengan
cara kompresi jantung, dilakukan dengan cara kompresi dada yang lebih cepat dan
memerlukan tenaga yang ringan.
- Ini harus dilakukan dengan
kecepatan 120 denyut/menit.
- Sternum harus ditekan sejauh 1 -
1,5 cm.
- Gunakan ujung jari tangan
II dan III pada sepertiga tengah sternum atau kedua ibu jari tangan
sedangkan kedua tangan menscekram toraks dengan hati-hati.
b. Pemberian obat-obatan.
2.2 Faktor – faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
2.2.1 Usia Ibu
Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu sehingga
kualitas sumber daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan
generasi penerus dapat terjamin. Kehamilan di usia muda/remaja (dibawah usia 20
tahun) akan mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini
dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan
alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia
tua (diatas 35 tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan
persalinannya serta alat-alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Safitri,
2010).
Kehamilan pada usia yang
terlalu muda dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan risiko tinggi dimana
keduanya berperan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu
maupun janin (Widiprianita, 2010).
Umur muda (< 20 tahun) beresiko karena ibu belum siap secara medis
(organ reproduksi) maupun secara mental. Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity
merupakan faktor resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas
asfiksia, sedangkan umur tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami
kemunduran untuk menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi
untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio
plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir
(Purnamaningrum, 2010).
Beberapa studi menyebutkan bahwa primigravida usia yang teralu
muda ataupun tua memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih besar
dibandingkan primigravida usia 20 – 30 tahun. Pada penelitian Awad
Shehadeh di Queen Alia and Prince Hashem Hospital pada primigravida berusia ≥
35 tahun didapatkan angka kejadian komplikasi keluaran maternal dan perinatal
yang meningkat bila dibandingkan dengan primigravida usia 20-25 tahun
yaitu pada kejadian perdarahan postpartum sebesar, persalinan dengan
bedah caesar, kelahiran prematur, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kelahiran
mati, malformasi kongenital, dan nilai apgar skor rendah (Widiprianita,
2010).
Menurut JT. Mutihir pada
studinya di Nigeria disebutkan bahwa pada primigravida usia yang berusia
kurang dari 20 tahun memiliki risiko mengalami komplikasi persalinan dan
komplikasi perinatal yang lebih tinggi dibandingkan dengan primigravida usia 20
– 34 tahun, yaitu peningkatan kejadian BBLR, asfiksia, persalinan
preterm, lahir mati, persalinan pervaginam dengan bantuan instrumen
(Widiprianita, 2010).
Berdasarkan hasil Penelitian
Revrely yang dilakukan di Ruangan IRINA D RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado
hubungan umur ibu dengan asfiksia neonatorum menunjukkan angka yang
paling besar presentasinya adalah umur ibu yang berisiko (<20 tahun; >35
tahun) dengan bayi yang asfiksia yaitu 13 bayi atau 52%. Dari hasil analisa
hubungan kedua variable dengan menggunakan uji statistik Chi Square
menunjukkan ada hubungan umur ibu dengan kejadian asfiksia neonatorum
dengan signifikansi (p) = 0.015, pada α < 0,05. Odds Ratio (OR) = 1,563.
Berarti umur ibu yang berisiko (< 20 tahun; > 35 tahun) mempunyai peluang
1,563 kali bayinya mengalami asfiksia dari pada umur ibu yang tidak
berisiko (20-35 tahun) (Revrely, 2011).
2.2.2 Umur Kehamilan
Umur kehamilan atau usia gestasi (gestational
age) adalah ukuran lama waktu seorang janin berada
dalam rahim. Usia janin dihitung dalam minggu dari hari pertama menstruasi terakhir (HPMT) ibu sampai
hari kelahiran (Kamus Kesehatan, 2011).
Menentukan
usia kehamilan sangat penting untuk memperkirakan persalinan. Rumus Naegle
menggunakan usia kehamilan yang berlangsung selama 288 hari. Perkiraan
kelahiran dihitung dengan menentukan hari pertama haid terakhir yang kemudian
ditambah 288 hari (Manuaba, 2010).
a. Preterm
Partus
prematurus
adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan
lahir antara 500-2499 gram (Rukiyah, 2010).
Kejadian
prematuritas pada sebuah kehamilan akan di picu oleh karakteristik
pasien dengan: Status sosial ekonomi yang rendah, termasuk didalamnya
penghasilan yang rendah, kehamilan pada usia 16 tahun dan primigravida
>30 tahun, riwayat pernah melahirkan prematur, pekerjaan fisik yang berat,
tekanan mental (stress) atau kecemasan yang tinggi dapat meningkatkan
kejadian prematur, merokok, dan penggunaan obat bius/kokain (Rukiyah, 2010).
Faktor
predisposisi akan menambah keadaan prematuritas antara lain: infeksi
saluran kemih, penyakit ibu seperti hipertensi dalam kehamilan, asma, penyakit
jantung, kecanduan obat, kolestatis, anemia, keadaan yang menyebabkan distensi
uterus berlebihan yaitu kehamilan multiple, hidramnion, diabetes, perdarahan
antepartum (Rukiyah, 2010).
Kegagalan
perbafasan pada bayi prematur berkaitan dengan defisiensi
kematangan surfaktan pada paru- paru bayi. Bayi prematur
mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun fisiologi jika
dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Karakteristik tersebut adalah:
1. Kekurangan surfaktan
pada paru-paru sehingga menimbulkan kesulitan pada saat ventilasi.
2. Perkembangan otak yang
imatur sehingga kurang kemampuan memicu pernafasan.
3. Otot yang lemah sehingga
sulit bernafas spontan.
4. Kulit yang tipis, permukaan
kulit yang luas dan kurangnya jaringan lemak kulit memudahkan bayi kehilangan
panas.
5. Bayi sering kali lahir
disertai infeksi.
6. Pembuluh darah otak sangat
rapuh sehingga mudah menyebabkan perdarahan pada keadaan stres.
7. Volume darah yang kurang,
makin rentan terhadap kehilangan darah.
8. Jaringan imatur, yang mudah
rusak akibat kekurangan oksigen (Purnamaningrum, 2010).
b. Aterm
Kelahiran cukup bulan (full-term birth)
adalah kelahiran hidup atau kelahiran
mati yang terjadi antara 37 dan 42 minggu usia kehamilan dihitung dari hari pertama haid yang
terakhir (Kamus Kesehatan, 2011).
c. Post term
Persalinan
post term
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan yang berlangsung 42 minggu
atau lebih (>249 hari), istilah lainnya yaitu serotinus. Menentukan
kehamilan post term dengan menggunakan rumus Neagle dihitung dari
HPHT dan berdasarkan Taksiran Persalinan (280 hari atau 40 minggu) dari HPHT
(Rukiyah, 2010).
Pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan umur kehamilan melebihi 42 minggu kejadian
asfiksia bisa disebabkan oleh fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi
akibat proses penuaan mengakibatkan transportasi oksigen dari ibu ke janin
terganggu. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan
kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu, hal ini dapat dibuktikan
dengan menurunya kadar estriol dan plasental laktogen. Rendahnya
fungsi plasenta berkaitan dengan kejadian gawat janin dengan resiko
(Pantiawati, 2010).
Menurut
hasil penelitian Katriningsih tahun 2009 yang berjudul hubungan antara faktor
Ibu dengan kejadian Asfiksia neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten
Boyolali dengan menggunakan uji statistik Chi Square menyatakan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara umur kehamilan dengan asfikisa
neonatorum dengan signifikasi (p) =
0,003, pada α < 0,05.
2.2.3 BBLR
Bayi
Berat Lahir Rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500
gram tanpa memandang masa kehamilan (Proverawati, 2010).
Jalan
nafas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing, trachea, bronchioles,
bronchioles respiratorius, dan duktus alveoleris ke alveoli. Terhambatnya
jalan nafas dapat menimbulkan asfiksia, hipoksia dan akhirnya kematian. Selain
itu BBLR tidak dapat beradaptasi dengan asfikisa yang terjadi selama
proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan asfiksia perinatal. Bayi
BBLR beresiko mengalami serangan apneu dan defesiensi surfaktan,
sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh
dari plasenta (Proverawati, 2010).
Gangguan
pernafasan sering menimbulkan penyakit berat pada Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR). Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan
pengembangan paru yang masih belum sempurna. Otot pernafasan yang masih lemah
dan tulang iga yang mudah melengkung, sehingga sering terjadi apneu,
asfiksia berat dan sindroma gangguan pernafasan (Prawiharjo, 2005).
2.2.4 Paritas
Paritas
adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Dan paritas adalah jumlah kehamilan yang dilahirkan
atau jumlah anak yang dimiliki baik
dari hasil perkawinan sekarang atau sebelumnya (Ilfa, 2010).
Paritas
adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman di tinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan
paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal yang disebabkan
perdarahan pasca persalinan lebih tinggi. Paritas yang rendah (paritas satu),
ketidak siapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor
penyebab ketidak mampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi
dalam kehamilan, persalinan dan nifas (Winkjosastro, 2007).
Paritas
1 beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara
mental. Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor
resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia,
sedangkan paritas di atas 4, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk
menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi
perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat
berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum,
2010).
Menurut
hasil penelitian Katriningsih tahun 2009 yang berjudul hubungan antara faktor
Ibu dengan kejadian Asfiksia neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten
Boyolali dengan menggunakan uji statistik Chi Square menyatakan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara Paritas dengan asfikisa neonatorum dengan signifikasi (p) = 0,004, pada α <
0,05.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konsep
Kerangka
konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel
yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan
sumber yang didapat Aminulloh (2002) dalam Katriningsih (2009), penyebab
kegagalan pernafasan pada bayi antara lain disebabkan oleh faktor-faktor yang
dapat disebabkan asfiksia neonatorum ialah faktor ibu yang meliputi usia
ibu waktu hamil, umur kehamilan saat melahirkan, paritas, dan faktor janin
meliputi bayi premature.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian asfiksia, dalam hal ini
karena keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu, maka peneliti hanya meneliti
dua faktor yaitu melakukan penelitian pada faktor Usia Ibu dan Umur
Kehamilan sebagai variabel independen. Sedangkan kejadian asfiksia
pada bayi baru lahir sebagai variabel Devenden, maka konsep serta variabel
dalam penelitian ini di gambarkan secara skematis.
3.2 Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Dependen
Asfiksia Bayi Baru Lahir
a.
Pengertian
: Yaitu suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami gagal bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir yang Terdiagnosis oleh Dokter.
b.
Cara
ukur : Mencatat di Rekam Medik
c.
Alat
ukur : chek list
d.
Hasil ukur
: 1 Ya : Jika bayi tidak dapat bernafas
secara spontan yang terdiagnosis oleh Dokter.
2. Tidak : Jika bayi dapat bernafas
secara spontan yang terdiagnosis oleh Dokter.
e.
Skala
ukur : Nominal
3.2.2 Variabel Independen
1. Usia ibu
a. Pengertian
: Umur
ibu saat melahirkan anak terakhir dihitung dalam tahun yang tercatat di Rekam
Medik.
b. Cara
ukur : Mencatat di Rekam Medik
c. Alat
ukur : Chek list
d. Hasil ukur
: 1 Resiko Tinggi,
jika umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.
2 Resiko Rendah, jika umur ibu 20-35 tahun
(Widiprianita, 2010).
e. Skala ukur
: Ordinal
2. Umur Kehamilan
a. Pengertian :
Dimulai dari tanggal
pertama wanita haid terakhir sebelum tes urine lalu dinyatakan positif hamil
hingga janin dilahirkan yang tercatat di Rekam Medik.
b. Cara
ukur : Mencatat di Rekam Medik
c. Alat
ukur : Chek list
d. Hasil
ukur : 1 Preterm, jika umur kehamilan lebih
dari 37 minggu.
2. Aterm, jika umur kehamilan 37 –
42 minggu.
3. Postterm, jika umur kehamilan lebih dari 42
minggu (Rukiyah, 2010).
e. Skala
ukur : Ordinal
3.2
Hipotesis
a. Ada hubungan Usia Ibu
dengan kejadian Asfiksia bayi baru lahir di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2011.
b. Ada hubungan Umur Kehamilan
dengan kejadian asfiksia bayi baru lahir di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2011.
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian
adalah suatu proses untuk mencapai (secara sistematis dan didukung oleh data)
jawaban dari suatu pertanyaan, penyelesaian terhadap permasalahan, atau
pemahaman yang dalam terhadap suatu fenomena.
Penelitian
ini menggunakan metode Survey Analitik yaitu survey atau penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi, dengan
pendekatan Cross Sectional dimana data yang menyangkut variabel
bebas atau resiko dan variabel terikat atau variabel akibat, dikumpulkan
dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
Dimana
data yang menyangkut variabel bebas atau resiko yaitu Usia Ibu dan Umur
Kehamilan dan variabel terikat atau variabel akibat yaitu
Asfiksia pada Bayi Baru Lahir.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi Penelitian
Populasi
penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010).Populasi penelitian ini adalah semua bayi baru lahir yang
dirawat dan tercatat berjumlah 2.410 orang di ruang Kebidanan RSUP Dr.Mohammad
Hoesin Palembang tahun 2011 bulan Januari sampai dengan Desember 2011.
4.2.2 Sampel Penelitian
Sampel
penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam
penelitian ini sampelnya adalah sebagian bayi baru lahir yang di rawat diruang
Kebidanan RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang berjumlah 343 orang.
Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara sampel acak (Random Sample) yaitu
setiap anggota populasi itu mempunyai kesempatan yang sama untuk diambilsebagai
sample. Besar sample penelitian ini diambil dengan menggunakan rumus
(Notoatmodjo, 2010).
Cara
pengambilan sample yaitu gengan teknik Acak Sistematis (Sistematic Random
Sampling). Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan
perkiraan jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sample yang
diinginkan hasilnya interval sample (Notoatmodjo, 2010)
Sehingga interval yang didapatkan adalah 7. Maka
anggota populasi yang terkena sampel elemen yang mempunyai nomor
kelipatan 7, yaitu: 7, 14, 21, 28, 35, 42 . . . dan seterusnya sampai
mencapai jumlah 343.
4.3 Lokasi dan Waktu
Penelitian
4.3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian di rencanakan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012.
4.3.2 Waktu Penelitian
Waktu
penelitian ini direncanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2012 di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
4.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan
Data
4.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data merupakan suatu cara atau metode yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data dalam penelitian (Notoatmdjo, 2010).
Dalam
penelitian ini pengumpulan data menggunakan data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari hasil pendokumentasian Rekam Medik dan status bayi yang dirawat
inap di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, bulan Januari – Desember 2011.
4.4.2 Instrumen Pengumpulan
Data
Instrumen
pengumpulan data adalah alat ukur dalam penelitian (Notoadmodjo, 2005).
Instrumen
pengumpulann data yang digunakan adalah Check list dan sebagai pedoman
dalam pengumpulan data.
4.5 Tehnik Pengolahan Data
Menurut
Notoatmodjo (2010), proses pengolahan data ini melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
4.5.1 Editing (Pengeditan Data)
Editing adalah merupakan kegiatan
untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuisoner. Apakah semua
pertanyaan sudah terisi, apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan
cukup jelas atau terbaca, apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya, dan
apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban pertanyaan lainnya.
4.5.2 Coding (Pengkodean)
Setelah
melakukan editing, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau “coding”,
yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau
bilangan.
4.5.3 Data Entry (Pemasukan Data)
Yakni
jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka
atau huruf) dimasukan kedalam program atau “software” komputer program
yang sering digunakan untuk “entri data” penelitian adalah paket progra SPSS
for Window.
4.5.4 Cleaning Data (Pembersihan Data)
Apabila
semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan perlu
dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan
kode dan ketidak lengkapan, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
4.6 Analisa Data
4.6.1 Analisa Univariat (Analisis Deskriptif)
Analisis
univariat
adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).
Analisis yang telah dianalisis dilakukan dengan distribusi frekuensi dari
tiap-tiap variabel independen (Usia ibu dan Umur kehamilan) dan variabel
dependen (Kejadian asfiksia).
4.6.2 Analisa Bivariat
Analisa
bivariat
merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berubungan
atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen (usia ibu dan umur
kehamilan) dengan variabel dependen ( kejadian asfiksia) di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2011 yang dianalisis dengan uji
statistik Chi-Square dan menggunakan komputerisasi dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05.
Analisa
ini dilakukan untuk melihat hubungan (kolerasi) antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Keputusan
dari pengujian Chi-Square :
1. Jika ρ value <
a (0,05), Ho ditolak dan Ha
diterima yang berarti ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen.
2. Jika ρ value
> a (0,05) Ho diterima dan Ha
ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminullah,
A. (2006). Asfiksia Neonatorum. In Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta:
Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Dewi,
V.N.L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Fatimah
Indarso, Resusitasi Pada Kegawatan Nafas Bayi Baru Lahir, Kumpulan Makalah
Pelatihan PPGD Bagi Dokter, JICA, RSUD Dr. Soetomo, Dinkesda Tk.I Jatim, 1999
Terima Kasih yaa... Sangat membantu ^^
BalasHapus